Senin, 11 Juli 2011

makalah ust. ghofar



KITAB NIKAH

Nikah termasuk sunnah-sunnah para rasul yang amat sangat ditekankan, dalam sebuah riwayat disebutkan:
“Wahai kaum muda, barangsiapa di antara kalian mampu kawin maka kawinlah.”Karena sesungguhnya kawin itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kehormatan. Barangsiapa yang tidak mapu (kawin), maka berpuasalah.” Karena sesungguhnya puasa itu sebagai tameng atau benteng. (H.R Bukhari-Muslim).[1]

 
Dan sabda Rasulullah SAW. :
“Wanita itu dinikahi karena 4 hal: karena hartanya, karena keturunannya, karena parasnya, dan karena agamanya: maka pilihlah yang ber-agama maka kamu akan beruntung. (H.R Bukhari-Muslim).[2]
Dan dianjurkan untuk memilih yang bagus agamanya, keturunannya, yang penyayang, yang banyak anak (subur), dan berketurunan mulia. Dan apabila ada kecocokan, maka terjadilah perjanjian akan menikah, maka baginya agar melihat darinya apa yang apa-apa yang Nampak darinya ketika dia akan menikahinya.
Dan tidak dihalalkan bagi seorang laki-laki untuk melamar perempuan di atas lamaran saudaranya sesama muslim, sehingga dia mengizinkannya atau meninggalkannya, dan tidak boleh juga seorang Muslim melamar secara terang-terangan seorang wanita yang sedang menjalani masa Iddah , dan sebagaimana juga tidak boleh melamar secara terang-terangan wanita yang menjalani masa Iddah, karena thalaq bain atau karena ditinggal mati oleh suaminya, namun tidak mengapa ia melamarnya secara sindiran. Hal ini mengacu pada firman Allah SWT.:
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikannya (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu.” (QS. Al-Baqarah: 235).
Dan sifat sindiran itu, seperti dia berkata: sesungguhnya saya suka kepada orang sepertimu, atau: tidakkah kamu mengajukan dirimu kepadaku, dan lainnya. Dan dianjurkan untuk mengadakan khutbah sesuai dilangsungkannya akad nikah, sebagaimana khutbah Ibnu Mas’ud, dia berkata : ( Rasulullah SAW telah mengajar kami tentang khutbatul hajah : (( “Segala puji hanya milik Allah SWT., kami memuji, memohon pertolongan dan ampunan kepada-Nya kami berlindung kepada Allah SWT. dari segala keburukan kami dan dari segenap kesalahan perbuatan kami. Barangsiapa yang diberi hidayah oleh Allah SWT., maka tak ada seorangpun yang dapat menyesatkannya. Barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka tak seorangpun yang memberi petunjuk kepadanya. Aku bersaksi bahwa tiada Ilah (yang patut diibadahi) kecuali Allah SWT. semata yang tiada sekutu bagi-Nya dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad SAW. adalah hamba dan rasul-Nya)).”[3]
Dan tiga ayat yang dapat memperindah sebagian mereka adalah firman Allah SWT. :
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah SWT. dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu meninggal dunia melainkan dalam keadaan beragama Islam. (QS. Al-Imran: 102).
Dan ayat yang pertama dari surat an-Nisaa’,
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah SWT. dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya, Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa menta’ati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendekatkan kemenangan yang besar. (QS. Al-Ahzab: 70-71).
Dan tidak ada kewajiban yang lain kecuali ijab-qabul, dan lafadznya disandarkan kepada si wali, seperti dia berkata: Aku nikahkan kamu atau aku nikahkan kamu. Dan lafadz qabulnya, dia disandarkan kepada suami atau yang mewakilinya, seperti ucapan: Aku telah menerima pernikahan ini, atau aku telah menerimanya, dan yang semisalnya.




BAB SYARAT-SYARAT NIKAH

Dan seharusnya di dalamnya ada keridhaan antara pasangan suami-istri tersebut, kecuali masih kecil, maka ayahnya yang menjelaskannya, dan ibunya yang menjelaskan kepada tuannya. Dan seharusnya di dalamnya ada wali, Rasulullah SAW. bersabda : (( Tidak ada nikah, kecuali dengan adanya wali)) hadits shahih, diriwayatkan Imam yang lima. Dan lebih utama manusia yang ingin menikah adalah  orang merdeka: bapaknya dan terus ke atas, kemudian anaknya dan terus ke bawah. Kemudian kerabatnya yang paling dekat dari ashabahnya, dan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim: (( Tidak dinikahi seorang janda sehingga dia  meminta persetujuan darinya, dan tidak dinikahi seorang sehingga dimintai izinnya)). Mereka bertanya: Wahai Rasulullah, dan bagaimana izinnya? Beliau menjawab:
(( Izinnya adalah diamnya)),[4]  dan Rasulullah SAW. bersabda: (( Umumkanlah pernikahan)) diriwayatkan oleh Imam Ahmad.[5]
Dan pada acara pernikahannya: dihadiri oleh dua orang saksi yang adil, dan mengumumkannya dan menampakkannya, dengan memukul rebana dan yang semisalnya. Dan janganlah si wali menikahkan si wanita selain yang se-kufu dengannya, dan tidaklah pezina se-kufu dengan orang yang menjaga diri dari hal-hal yang tidak baik, dan bangsa Arab sebagian mereka dengan sebagian yang lain adalah se-kufu, dan jika tidak ada walinya, atau tidak hadir dalam waktu yang lama, atau terhalang dari menikahinya maka sama saja wali hakim yang menikahkannya, sebagaimana dalam hadits : ((Penguasa menjadi wali bagi siapa saja yang tidak ada wali baginya)) diriwayatkan oleh ashabus sunan kecuali an-Nasa’i.
Dan seharusnya dia mengkhususkan kedudukan atasnya pada waktu akad, maka tidak sah: anakmu dinikahkan dengannya selainnya, sehingga dia membedakannya antara namanya atau sifatnya, dan seharusnya juga yang tidak menghalangi salah satu dari keduanya untuk menikah, dan dia disebutkan dalam bab  orang-orang yang diharamkan untuk dinikahi

BAB ORANG-ORANG YANG HARAM DINIKAHI

Dia terbagi menjadi dua bagian: yaitu diharamkan untuk selamanya, dan diharamkan untuk sementara waktu. Maka yang diharamkan untuk selama-lamanya ada tujuh yaitu yang diharamkan karena nasab, dan mereka adalah:
1)    Ibu, yaitu setiap wanita yang antara seorang laki-laki dan wanita tersebut terdapat hubungan kelahiran, baik dari pihak ibu maupun bapak, seperti ibunya sendiri, neneknya, dan seterusnya ke atas, baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu,
2)    Anak perempuan, yaitu setiap wanita yang bernasab kepada laki-laki karena kelahiran, seperti anak perempuan kandung, cucu perempuannya dari anak laki-laki atau anak perempuannya, dan seterusnya kebawah,
3)    Saudara perempuan dari pihak manapun,
4)    Anak perempuan dari saudara perempuan (keponakan). Ini mencakup anak perempuan dari saudara laki-laki atau saudara perempuan dari pihak manapun dan seterusnya kebawah,
5)    Anak perempuan dari saudara laki-laki,
6)    Bibi dari pihak ayah, yaitu saudara-saudara prempuan seterusnya ke atas. Termasuk bibi ayahnya dan bibi ibunya,
7)    Bibi dari pihak ibu, yaitu saudara-saudara perempuan ibunya dan saudara-saudara perempuan ibu dari ayahnya.
Diharamkan atas laki-laki menikahi ketujuh wanita tersebut untuk selama-lamanya, berdasarkan kesepakatan ulama. Dan empat yang diharamkan karena hubungan pernikahan, mereka adalah: isteri ayah dan seterusnya ke atas, anak perempuan isteri atau anak tiri (ar-raabibah), ibu dari isteri (ibu mertua), isteri dari anak kandung laki-laki (menantu), dan apa saja yang diharamkan karena nasab itu juga diharamkan karena susuan.
Dan dalil dari hal ini adalah firman Allah Ta’ala:
“Diharamkan atas kalian (menikahi) ibu-ibu kalian....” (QS. An-Nisaa’ : 23-24).
Kepada selain keduanya, sebagaimana Rasulullah SAW. bersabda: (( “Apa saja yang diharamkan karena nasab itu juga diharamkan karena susuan)). Muttafaqun ‘Alaihi.[6]
Dan adapun yang diharamkan untuk sementara waktu maka mereka sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah SAW. (( Tidak boleh dikumpulkan (dalam pernikahan) antara isteri dengan bibinya dari pihak ayah dan tidak pula dari ibunya)) Muttafaqun ‘Alaihi,[7] dan firman Allah Ta’ala : “(Diharamkan atas kalian) menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara.” (QS. An-Nisaa’: 23).
Dan tidak boleh orang yang merdeka mengumpulkan lebik banyak atau beristeri empat orang, dan tidak pula budak mengumpulkan antara dua orang isteri atau lebih. Dan adapun orang yang dipercaya maka baginya tunduk apa yang dia kehendaki. Dan apabila dia selamat dari kekafiran dan yang lebih rendah daripadanya yaitu semua orang dari pihak isteri memilih salah satu dari keduanya, atau di sisi lain lebih banyak dari empat maka dia memilih dari empat orang tersebut, dan terpisah maksudnya tak berkesudahan.
Dan diharamkan hal-hal yang diharamkan di atas sampai dihalalkan dari pengaharamannya, dan wanita yang sedang menjalani masa Iddah dari selainnya sehingga habis masa Iddah-nya, dan pezina atas pezina dan selainnya hingga dia bertaubat, dan diharamkan menikahi wanita yang di-thalaq tiga sampai dia menikah dengan laki-laki yang lain, dan telah habis masa masa Iddah-nya.
Dan tidak boleh mengumpulkan dua orang perempuan bersaudara dengan berniat menjadi miliknya, akan tetapi apabila salah satu dari keduanya berpihak dan belum dihalalkan baginya yang lain sampai diharamkan keberpihakannya dengan mengeluarkan dari miliknya atau menikahi baginya setelah penyerahan.
Dan susuan yang diharamkan: apa yang sebelum masa penyapihan, dan dia adalah lima kali susuan atau lebih, maka dia menjadi dengannya anak kecil dan anak-anaknya untuk disusui anak-anak tersebut dari pemilik susu, dan menyebar pengharaman dari arah susuan dan pemilik susu seperti menyebarnya nasab.  

BAB SYARAT-SYARAT DALAM PERNIKAHAN

Dan dia apa-apa yang salah seorang pasangan suami-isteri mensyaratkannya atas yang lain. Dan dia ada 2: shahih, seperti mensyaratkan bahwa dia tidak menikah dengannya dan dia tidak menduakannya dengan yang lain (mengambil gundik), dan dia tidak membawanya keluar dari kampungnya atau negaranya, atau penambahan mahar atau nafkah dan yang seperti itu. Maka ini dan yang semisalnya segala sesuatunya termasuk pada sabda Nabi Muhammad SAW. : ((“Syarat-syarat yang paling layak untuk dipenuhi ialah syarat yang dengannya kalian menghalalkan kemaluan (wanita)). (Muttafaq Alaih).[8]
Dan darinya perkawinan-perkawinan yang batil, seperti nikah mut’ah, nikah muhallil, dan nikah syighar. Dan Rasulullah SAW. awalnya memerintahkan nikah mut’ah kemudian mengharamkannya.[9]  Dan melaknat muhallil (yaitu orang menikahi seorang wanita dan menceraikannya dengan niatan supaya wanita itu menjadi halal kembali bagi suami yang pertama) dan muhallallahu (yakni orang yang meminta muhallil melakukan pernikahan tersebut mantan suami).[10] Dan (( Rasulullah SAW. melarang nikah syighar)).[11] Dan dia adalah seorang laki-laki mengawinkan puterinya, atau saudara perempuannya, atau selain keduanya yang termasuk di dalam kawasan perwaliannya dengan orang lain dengan syarat orang lain termasuk puteranya, atau putera saudaranya menikahkan dia (laki-laki pertama) dengan puterinya, atau saudara perempuannya, atau puteri saudara perempuannya, atau dengan yang semisal dengan mereka dan tidak ada mahar di antara keduanya. Dan setiap hadits di atas adalah hadits-hadits shahih.



[1] Dikeluarkan oleh al-Bukhari (5065), Muslim (1400) diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud RA.
[2] Dikeluarkan oleh al-Bukhari (5090), Muslim (1466), dari Abi Hurairah RA., dan kedudukannya pada hadits adalah lemah, maka kami menshahihkannya dalam Shahiihain.
[3]  Khutbah Ibnu Mas’ud yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (2118), dan Tirmidzi (1106), dan Nasa’i (3/ 104-105), dan Ibnu Majah (1892). Dan dia ditetapkan shahih sebagaiman adanya, dan lihatlah Risalah yang bermanfaat (Khutbatul Hajah) karya al-‘Allamah al-Kabiir Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah.
[4] Diriwayatkan oleh Bukhari (5136), Muslim (1419) dari Abu Hurairah RA.
[5] Jilid 4/ hal. 5 dari Abdullah bin Zubair RA. al-Albani rahimahullah  men-hasan-kannya dalam Shahihul Jami’ no. 1072.
[6] Diriwayatkan Bukhari (2645), Muslim (1447), dari Ibnu Abbas RA., dan diriwayatkan oleh Bukhari (2646), Muslim (1444) dari ‘Aisyah RA.
[7] Diriwayatkan oleh Bukhari (5109), Muslim (1408), dari Abu Hurairah RA.
[8] Diriwayatkan Bukhari (2721), dan Muslim (1418) dari ‘Uqbah bin ‘Aamir RA.
[9] Sebagaimana dalam riwayat Muslim (18/ 1408) dari Salamah binti Akwa’ RA.
[10] Diriwayatkan oleh Ahmad (1/448), dan Tirmidzi (1122) dan dia menshahihkannya, dan an-Nasa’I (6/149), dari Abdullah bin Mas’ud RA. Dan menshahihkannya al-Albani rahimahullah dalam Irwaaul Ghaalil (1897), dan dari Ibnul Qaththan, dan Ibnu Daqiqil ‘Ied dan dari ahli ilmu hadits.
[11] Diriwayatkan Bukhari (5112) dan Muslim (1415) dari Abdullah bin Umar RA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar